Pages

Senin, 20 Juni 2011

antara Darsem, kartini, malinda, nunun.

Darsem termenung sendiri, merenungi putaran waktu ke depan, putaran hidup mati dirinya yang bergantung pada mata uang. Pemerintah tempat dirinya mengais rezeki menjatuhkan hukuman mati dengan tuduhan melakukan pembunuhan pada majikannya, beruntung ahli waris sang majikan dapat membiarkan Darsem hidup bila membayar uang denda sebesar 2 juta real, dan Darsem harus mencari sejumlah uang tersebut agar masih bisa menikmati sisa umurnya.

Umur Darsem ditentukan sejumlah uang.

Niat merantau ke negeri orang bagi Darsem memang sudah kuat melekat dalam darahnya, merantau untuk menukar nasibnya agar lebih baik, hidup di kampungnya terasa amat sulit, bahkan terlalu sulit sekadar untuk dibayangkan, bagi Darsem kerja keras di negerinya sendiri tidak menjamin bisa membekali hidupnya juga keluarganya.

Lapangan pekerjaan sulit, banyak orang yang bergelar sarjana bekerja semerawutan, terpaksa bekerja bukan pada bidang disiplin ilmu yang bertahun-tahun dicari dibangku sekolah, yang penting kerja bisa makan, syukur-syukur kalau ada tabungan.

Pemerintah sedang sibuk memerangi korupsi, walau cuma perang dingin. Tiap hari semakin banyak koruptor, semakin sedikit yang bisa dimasukan ke bui, malah makin banyak koruptor yang kabur dan tidak kembali. Jadi harap maklum kalau untuk lapangan pekerjaan tidak begitu diperhatikan, toh pemerintah berpikir rakyat di negeri ini selalu banyak akal agar bisa menyuapkan sepiring nasi pada mulut mereka, rakyat negeri ini bisa berpikir sendiri bagaimana caranya agar tetap bertahan hidup.

Karena sudah tidak bisa berpikir untuk bertahan hidup di kampungnya, dan atas restu keluarganya maka berangkatlah Darsem ke tanah Arab menjadi tenaga kerja Indonesia, sebagai seorang perempuan kampung menjadi pembantu rumah tangga rasanya mampu dilakukan Darsem, gaji dari Arab yang dijanjikan lumayan besar bila ditukar dengan nilai mata uang kampungnya, selain itu Darsem pun berharap bisa menunaikan ibadah Haji.

Darsem hijrah bersama ribuan perempuan lainnya ke Arab, mencari kerja, meninggalkan suami, anak-anak, orang tua dan semua orang yang mereka cintai di kampung mereka, di tanah air mereka.

Jasa para perempuan itu juga teramat besar pada bangsa ini, triliunan rupiah mereka
sumbangkan untuk negerinya, mereka turut meyokong pembangunan, menjadi pahlawan perempuan setelah Kartini, Cut Nya Dien dan pahlawan wanita lainnya, mengorbankan keringat mereka, mengorbankan rasa rindu mereka pada keluarga dalam menyumbang devisa.

Darsem makin termenung.

Mengingat peristiwa yang terjadi pada diri dan majikannya, terpaksa Darsem membunuh karena sang majikan tidak bisa mengatur birahi, tidak bisa membuang rasa nafsu pada istrinya sendiri. Darsem bukanlah perempuan yang gampang menyerah, perempuan yang tanpa malu harus pulang membawa anak dari hasil merantaunya. Darsem melawan, meninju, membunuh majikannya, sang majikan tewas bersama hawa nafsunya

Darsem menyadari tindakannya teramat nekat, dalam perjalanan kasusnya dia amat berharap ada perhatian dari pemerintah negerinya, ada pembelaan untuk dirinya, pembelaan bagi pahlawan devisa.

Namun dia sadar dengan alasan kedatangan dirinya ke tanah Arab melalui jasa tenaga kerja yang ilegal mungkin kedutaan tidak begitu bisa membantu, apalagi membelanya. Darsem sadar akan banyak lahir Darsem-Darsem yang lainnya apabila jasa tenaga kerja ilegal terus dibiarkan berkembang di negerinya, pemerintah tidak serius memperbaiki pengiriman tenaga kerja ke negara-negara lain dengan terus membiarkan banyaknya jasa tenaga kerja ilegal.

Pahlawan devisa bagi Darsem adalah julukan yang tidak dia mengerti walau dia tahu ada pepatah yang mengatakan bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. Mungkin devisanya yang dianggap pahlawan, bukan para pekerja yang telah menyumbangkannya.

Darsem tersenyum dalam lamunannya, andai dia tidak bisa mengumpulkan uang sebanyak 2 juta real, jika pemerintah tidak membantu, dia akan mati sebagai pahlawan paling tidak bagi dirinya sendiri yang telah berjuang melawan hawa nafsu majikannya.

Senyumnya makin lebar, ketika dalam lamunannya Darsem berani mensejajarkan dirinya dengan Kartini, pahlawan wanita idamannya, wanita yang dinilai telah berjuang memperjuangkan hak-hak perempuan, seorang perempuan Jawa yang berjuang melalui tulisan suratnya sampai pada masa perempuan di saat itu dapat memperoleh kesempatan untuk belajar seperti kaum lelaki, perempuan Jawa yang telah melahirkan kata emansipasi.

Darsem tersenyum, tersenyum dan tersenyum pada lamunannya. Tanpa malu Darsem merasa dirinya lebih baik dari Malinda, dari Nunun, dirinya merasa lebih mulia dari kedua perempuan itu walau bekerja hanya sebagai pembantu rumah tangga, dia telah menyumbang devisa bagi negerinya sedangkan perempuan-perempuan itu menggerogoti kekayaan bangsanya.

Darsem tersenyum walau nyawa di ujung tanduk.

Senyuman Darsem, lamunannya hilang ketika seorang pengacara hukum keluarga almarhum majikannya menghampiri ditemani petugas.

"Assallamualaikum Ibu Darsem."

"Waalaikumsallam," jawab Darsem penuh ketenangan, penuh percaya diri.

"Apakah Ibu didampingi seorang pengacara atau adakah kantor kedutaan mengirim seseorang sebagai pembela ibu dalam kasus ini?"

"Tidak Tuan, saya seorang diri, pembelaan diri saya percayakan pada kuasa Allah, pada kekuatan doa-doa yang dikirimkan oleh keluarga dan orang-orang yang saya cintai di Tanah Air, doa dari orang-orang yang menghargai jasa pahlawan."

"Satu lagi Tuan, saya tidak banyak berharap pada pemerintah negeri saya untuk membela saya, untuk bisa menebus, bisa membebaskan, bisa membiarkan saya kembali menikmati hidup, karena pemerintah saya tidak akan mengeluarkan uang sepeser pun, pemerintah saya sudah bangkrut," ujar Darsem sambil terus tersenyum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar